Cara fikir

@ "Jangan melakukan suatu ibadah yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW"

» Ya Kalau begitu jangan dengar Khutbah Jum'at dengan Bahasa Indonesia

@ "Semua amalan itu tertolak kalau tidak ada contoh dari Rasulullah SAW"

» Kalau begitu jangan lakukan Shalat Tarawih sebulan penuh di masjid

@ "Islam itu sudah sempurna, tidak perlu di tambah-tambah lagi"

» Kalau begitu, tidak usah banyak bicara. Karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu lagi di tambah ajaran aneh seperti pemikiran dan ide salafimu

@ "Kubah kuburan wali harus di rubuhkan, karena berpotensi syirik disembah".

» Kenapa hanya kubah kuburan saja yg di rubuhkan, sekalian saja tebang semua pohon didunia, ratakan gunung-gunung, sumpal goa-goa, timbun laut, karena semuanya juga berpotensi syirik untuk disembah!

@ "Salam untuk orang yang telah meninggal dunia tidak akan sampai"

» Kalau begitu saat shalat tidak usah ucapkan "Assalamu 'alaika ayyuhannabiyu warahmatullahi wabarakatuh", karena Rasulullah SAW telah lama wafat.

@ "Tassawuf itu ajaran baru, karena Rasulullah SAW tidak pernah menyebut sufi"

» Kalau begitu tidak usah belajar hadits, karena istilah-istilah muhaddits pun Rasulullah SAW tidak pernah sebut. Rasul juga tidak pernah menyebut kata Aqidah. apalagi tauhid dibagi tiga, emangnya trinitas :p

@ "Jangan percaya ulama, ulama itu tidak ada yang maksum, dan yang maksum hanya Rasulullah SAW"

» Kalau begitu tidak usah pakai hadits, karena semua hadits di riwayatkan oleh para ulama

@ "Maulid itu bid'ah, tidak boleh di lakukan"

» Kalau begitu jika anak kamu lahir tidak usah senyum senang, karena itu bagian dari perayaan kelahiran

@ "Indonesia ini negara thaghut"

» Kalau begitu tidak usah tinggal di Indonesia

@ "Aqidah Asy'ariyyah itu sesat"

» Kalau begitu tidak usah pakai kitab-kitab Ibnu Hajar Al Asqalani yang selalu kalian jadikan referensi utama, Ga usah juga kaji Riyadhus Solihin-nya Imam Nawawi.

@ "Imam Syafi’i itu tidak maksum"

» Apa lagi kamu … Ha ha ha …

Nah bagaimana? bersama belajar intropeksi dan membenahi tatacara berpikir kita. Biar nggak tabrakan nggak jelas karepe dewe :p


#Copy paste dari Cak alawi ameer qolawun

si mbah

Berjalan pelan sempoyongan dengan nafas yang tersengal sengal

Ditemani dengan sajadah lusuh di pundaknya
Dan tasbih kusam yang ada di tanganya
Rambutnya putih tanpa ada hitamnya
Masih puasa meski umur sudah senja
Masih teraweh meski tenaga tak seperti mudah
Tak tertinggal satu pun sholat wajibnya di usia senja
Mata yang kelihatan buram, tp begitu tajam untuk membaca Al qur'an 

Badan kurus tinggal tulang tak ada dagingnya
Hidup sendiri tanpa ada yang menemani
Di tinggal istri tercinta yang telah lama pergi dgn khusnul khotimah
Makan hanya dapat belas kasihan dari tetangga
Menenun sarung 17.000 ribu 1 minggu dia terima

Sesekali aku datang kerumah
Begitu Ikhlas dan pasrah dengan keadaannya
Hingga Khusnul Khotimah Menjemputnya............................ ( Selamat jalan mbah )

Ali bin abi tholib

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Ia tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.

syaikh

Kulit Asy Syadzili sawo matang, badanya kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang seakan-akan dia adalah orang Hijaz, lidahnya fasih dan perkataannya manis.[1] Penampilanya menarik. Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaian yang indah setiap kali memasuki masjid. Tidak pernah sekalipun dia terlihat memakai baju-baju yang penuh tambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi, bahkan dia selalu berhias dengan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memliharanya dan menungganginya selayaknya penunggang kuda. Dia selalu menasihatkan untuk bersikap modera

Tabrak lari

siang yang panas, aku dpet sms dari temen katanya suruh datang kerumahnya karena ada acara makan makan, lansung saja ku naikki motorku dan berangkat di rumah temanku itu,. acara di mulai ehmm.,.,,.,.
tak terasa acara selesai, aku berkata pada temanku hoi aku pulang dulu ya,. temanku menjawab oke. langsung saja ku naiki motorku dan ku lajukan dengan kencang, di jalan kampung yang sepi dengan anak anak, pas lagi enak enak nyetir eh di seberang jalan ada yang lagi clingak clinguk mau nyebrang tapi tak lihat ada motor yang mau liwat, aku yang tak sempat lagi ngerem itu akhirnya menabrak JeburuuaKKKKKKK,.., Keok keok keok petok petok.,, aku yang masih di atas motor menoleh kebelakang ku lihat Klepek klepek klepek ehh,,., ternyata yang ku tabrak tadi ayam jago bangkok,. wuihiihh aku menghentikan sejenak motorku, aku lihat wah gimana nie ayam orang aku tabrak nanti kalo orangnya yang punya tahu pasti kena gebrak aku,. wah kesempatan mumpung yang punya belom tahu, aku kabur aja deh., ngebut lagi dengan detak jantung berdetak dengan kencang keringat bercucuran,., Akhirnya Alhamdulillah nyampek di Warnet,
istirahat sejenak sambil melepaskan dahaga,. selalu teringat dan kebayang dengan kejadian tadi, pikiranku melayang Eh kira kira ayam tadi masuk mana yah,., masuk dalam kubur Apa Masuk dalam Kuali yah,., hehehehehheh..,.,

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
 
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
 
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
 
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
 
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim)

Jalaluddin Ar-Rumi 1



Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya, Paduka."
Ia berkata, "Mengapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa."

Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa--yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya.
Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya.



 


Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, ar-Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian besar hidup ar-Rumi dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

 
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiah--sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

Cinta untuk Tuhan
Ar-Rumi dikenal karena kedalaman ilmu yang dimilikinya serta kemampuan dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat dalam. Ia memilih puisi sebagai salah satu medium untuk mengajarkan cinta sejati (Tuhan). Lirik-lirik puisinya banyak mengedepankan perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan. Maka itu, tak mengherankan jika ia mengungguli banyak penyair sufi, baik sebelum maupun sesudahnya.

Karya-karya puisi ar-Rumi juga mengandung filsafat dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya. Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud). Bagi ar-Rumi, Tuhan adalah wujud yang meliputi. Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala seuatu itu adalah Allah atau Allah adalah segala sesuatu. Kesatuan hamba dengan Tuhan, dalam tasawuf ar-Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni.

Pengetahuan mengenai ajaran tasawuf tidak ia pelajari sejak usia dini. Masa kecilnya justru lebih banyak dipergunakan Jalaluddin ar-Rumi untuk menimba ilmu agama, terutama terkait dengan hukum Islam. Pendidikan pertama ar-Rumi diperolehnya dari ayahnya sendiri, Bahauddin Walad Muhammad bin Husin, yang merupakan seorang tokoh dan ahli agama Islam penganut Mazhab Hanafi. Selain itu, ia juga belajar pada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Atas saran gurunya ini, ia kemudian menimba ilmu pengetahuan di negeri Syam (Suriah).

Dengan pengetahuan agama yang luas, ar-Rumi dipercaya untuk menggantikan Burhanuddin sebagai guru di Konya setelah sang guru wafat. Di samping sebagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih).

Perubahan besar dalam hidup ar-Rumi terjadi pada tahun 652 H. Di usianya yang menginjak 48 tahun, ia mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi setelah bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsuddin at-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh ajaran sufi itu sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi.

Rumi telah menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, Rumi menulis syair-syair yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz . Ia juga membukukan wejangan-wejangan gurunya itu yang dikenal dengan nama Diwan Syams Tabriz . Buku ini juga memuat inti ajaran tasawuf ar-Rumi.
Di samping termuat dalam Diwan Syams Tabriz , inti ajaran tasawuf ar-Rumi juga banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-Masnawi . Buku ini terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Karyanya ini berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab.

Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pertama kali, buku ini diterjemahkan ke bahasa Jerman pada tahun 1849. Namun, yang diterjemahkan hanya sepertiga bagian dari keseluruhan isi Al-Masnawi . Hasil terjemahan dalam bahasa Jerman ini diterbitkan di Kota Leipzig dan mengalami cetak ulang pada tahun 1913.

Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Sir James Redhouse pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian, sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dari Al-Masnawi diterjemahkan lagi oleh Whinfield ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan puisi pilihan yang terbit di London tahun 1887 ini mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang. Volume kedua diterjemahkan oleh Wilson dan diterbitkan di London tahun 1910.

Baru pada tahun 1925 hingga 1950, proses penerjemahan buku Al-Masnawi dilakukan secara menyeluruh oleh Reynold Alleyne Nicholson. Selain menerjemahkan buku ini, Nicholson juga menambahkan uraian serta komentarnya untuk melengkapi terjemahannya. Langkah Nicholson yang menerjemahkan karya ar-Rumi ini diikuti oleh salah seorang muridnya, AJ Arberry, yang menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di London pada 1961.

Teori kefanaan
Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdad al-wujud , ar-Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan. Pendapatnya tentang kefanaan tergambar dari ungkapannya, ''Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingin cemerlang sebagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitu, kau bisa mengendalikan genggamanmu atas 'Aku' dan 'Kita', di mana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.''

Sementara itu, suasana pada saat sedang fana digambarkan oleh ar-Rumi sebagai berikut. ''Nuh berkata kepada bangsanya, Aku bukanlah aku. Aku bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri. Apabila ke-aku-an lenyap dari identitas insan, tinggallah Tuhan yang bicara, mendengar, dan memahami. Apabila Aku bukanlah aku, adalah aku tiupan napas Tuhan. Adalah dosa melihat kesatuan aku dengan-Nya.''

Dalam pandangannya, setiap peristiwa kefanaan selalu diikuti oleh baqa , yaitu tetapnya kesadaran sufi kepada Tuhan. Pada saat sedang baqa , kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Kata ar-Rumi, ''Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi. Bagaimana si awam meyakininya. Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah titik. Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.'' sya/dia/berbagai sumber



Tarian berputar sang sufi

Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi, Jalaluddin ar-Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah. Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.

Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase .

Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan tanpa kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya. Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana kehidupan tanpa sinar matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin membuat Rumi menari-nari berputar-putar sambil melantunkan syair-syair puitis akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya.

Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi menjalin persahabatan dengan Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang guru. Bersama Shalahuddin yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari untuk mengungkapkan penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai.

Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan. Bahkan, banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia melakukan hal yang sama sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru dalam menemukan Tuhan.

Suatu hari, Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota Konya akan menjadi semarak. ''Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.''

Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah sekian lama terlelap oleh sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi. ''Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,'' tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes , para darwis yang menari. Setiap tahun, pada 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin, mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ''Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,'' kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson. ''Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,'' seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi .

Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia berkata sebagai berikut. ''Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh , dia adalah yang paling sempurna.

Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.''Itulah Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya.

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda, Semoga Bermanfaat.. :) :D

Ingat Allah dan waktu Sholat

Postingan

Profilku

Foto saya
Diriku adalah diriku,. Aku adalah aku,yang lemah adalah diriku